| 0 komentar ]

Setiap hari, setiap waktu kita selalu melihat musibah dan bencana dimana-mana, seperti banjir, tanah longsor, iklim dan cuaca yang tidak menentu, yang membuat alam tidak bersahabat lagi dengan manusia.

Bukan hanya korban harta benda saja, ribuan nyawapun sudah menjadi korban karena musibah tersebut. Beberapa gerakan penyelamatan lingkungan sudah mulai dicanangkan seperti Gerakan Indonesia Menanam, Gerakan Rehabilitasi Lahan Nasional, Gerakan Cinta Lingkungan dan gerakan-gerakan terkait lainnya. Gerakan yang baru dicanangkan maupun sedang berjalan memang belum bisa langsung berdampak untuk jangka pendek, namun kita baru merasakannya jika gerakan tersebut sukses setelah beberapa tahun ke depan.


Fokus pembahasan kali adalah menangani bencana banjir dan tanah longsor di Indonesia, jika kita menilik dari amanat Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Kehutanan seperti dalam Pasal 18 dijelaskan bahwa :

(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Kemudian dalam pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999 juga memuat tentang ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam ayat 3

1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

(3) Setiap orang dilarang:

  1. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
  2. Merambah kawasan hutan;
  3. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
  1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
  2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
  3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
  4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
  5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
  6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
Selain kawasan yang harus dilindungi selain yang disebutkan tersebut masih ada beberapa kawasan yang harus dijaga dan dilindungi fungsinya seperti :

  1. Kawasan hutan yang mempunyai kelerengan, kepekaan jenis tanah dan intensitas hujan dengan skoring sama dengan dan atau lebih besar dari 175 sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan tata Cara Penetapan Hutan Lindung.
  2. Kawasan hutan dengan kelerengan lebih dari 40% dan atau dengan kelerengan lebih dari 15% untuk tanah yang sangat peka terhadap erosi.
  3. Kawasan hutan dengan ketinggian sama dengan atau lebih besar dari 2.000 (dua ribu) meter dari permukaan laut.
  4. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3 (tiga) meter.
  5. Buffer zone atau kawasan penyangga hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi.
  6. Kawasan pelestarian plasma nutfah.
  7. Kawasan perlindungan satwa liar.
  8. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan.
  9. Kawasan rawan terhadap bencana alam.
Dari uraian diatas kiranya sudah bisa memberikan gambaran kepada kita arti penting dari perlindungan terhadap eksistensi kawasan tersebut ditengah kehidupan kita yang sebagian besar masih hidup dalam himpitan ekonomi, karena itu diperlukan peran aktif dan partisipasi antara masyarakat dan pemerintah.

Aplikasinya dilapangan untuk menjaga kawasan-kawasan tersebut sangatlah susah, seperti kita jumpai
  • Lereng-lereng curam dipakai untuk bercocok tanam maupun bertempat tinggal
  • Kawasan rawan banjir tetap dihuni meskipun pemerintah sudah menyediakan relokasi.
  • Kanan-kiri sungai dihuni kawasan pemukiman baik perumahan maupun pemukiman kumuh.
  • Kanan-kiri waduk menjadi tempat tinggal masyarakat.
  • Tepian Pantai menjadi perumahan dan tempat tinggal masyarakat.
  • Kondisi hutan seperti diPulau Jawa belum mencapai 30% dari total jumlah daerah aliran sungai dan pulau sebagaimana yang disebutkan dalam amanat UU No. 41 Tahun 1991, jadi tidak heran di Pulau Jawa sering mengalami musim kemarau yang lama dan musim banjir.
Oleh karena itu dengan semangat apapun kita harus selalu menjaga minimal kawasan-kawasan tersebut agar tetap dilindungi dan tetap berfungsi dengan baik sebagai hidro-orologi, pengatur sistim tata air dan pengatur kesuburan tanah, sekaligus pencegah bahaya longsor maupun abrasi pantai.

Gerakan ataupun kampanye sekecil apapun jika dimulai dari diri kita dan kemudian diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat akan dapat meminimalisir musibah banjir dan tanah longsor yang ada. Kegiatan seperti membuat sumur resapan, melancarkan selokan-selokan air, membuang sampah tidak sembarangan, menanam pohon dilingkungan rumah, meskipun nilainya kecil namun jika dilakukan secara serentak akan menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap kelangsungan hidup kita.

Untuk itu diperlukan gagasan semacam Gerakan Kampanye Anti Banjir dan Bencana Nasional (KABBAN) secara spesifiknya menyangkut masalah banjir, tanah longsor dan abrasi pantai, dan semboyan mulai dari diri sendiri, mulai saat ini dan mulai secara bersama-sama. Stop Banjir, Stop Tanah Longsor dan Stop Abrasi Pantai.

0 komentar

Post a Comment