| 0 komentar ]

Setelah saya searching di Google dengan kata kunci ayat-ayat cinta muncul ratusan bahkan ribuan judul dihampir sebagian besar blog pribadi saking banyaknya, saya coba memilih beberapa blog saja diantaranya yang ditulis oleh mas Hasan Junaidi tanggal 23 Maret 2007 hampir setahun yang lalu, dimana antusiasme para pencinta novel ini menantikan Novel Ayat-ayat Cinta yang akan difilmkan dilayar lebar dan keingintahuan terhadap bintang-bintang yang akan melakoni film ini. Selain blog mas Junaidi ada link download novelnya namun sekarang sudah dihapus, kita jumpai juga blog/web dari mas Isnan Nur Rifa'i yang menuliskan secara panjang novelnya disini masih kita jumpai webnya.



Syuting film Ayat-ayat Cinta telah dikumandangkan sejak tahun 2007 dan dalam penggarapannya banyak mengalami hambatan-hambatan yang cukup berarti sesuai penuturan dari sang sutradara Hanung Bramantyo dalam blognya Jagat Pakeliran.

Setelah mengalami perjuangan yang melelahkan akhirnya film AAC bisa ditayangkan pada 28 Pebruari 2008, mundur dari jadwal semula. Antusiasme masyarakat yang ingin menyaksikan film ini cukup besar terutama yang sudah pernah membaca novelnya ingin sekali mengetahui apakah cocok antara novel yang dibaca dengan yang divisualkan dalam filmnya. Meskipun sebagian menyatakan puas dan sebagian menyatakan terobati dengan film ACC namun kita tetap memberikan aplaus dan apreasiasi terhadap sutrada film yang telah semaksimal mungkin menggarapnya. Sehingga ke depannya mas Hanung bisa lebih giat lagi menggarap film-film layar lebar yang lebih baik dan lebih islami sesuai dengan idealismenya.

Situs official Ayat-ayat Cinta On The Movie dapat anda kunjungi dialamat www.ayatayatcintathemovie.com

Bagi yang berminat membeli novelnya secara online bisa mengunjungi situsnya disini , didalam situs Galeri Buku Penerbitan Republika didalamnya terdapat testimonial dari beberapa sastrawan dan novelis Indonesia ternama berikut kutipannya :
\
Ayat-ayat Cinta
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
ISBN : 979-3604-02-6
Tebal : ix+418 halaman
Ukuran : 20,5 x 13,5 cm
Harga : Rp. 43.500,00


"Penulis novel ini berhasil menggambarkan latar (setting) sosial-budaya Timur Tengah dengan sangat hidup tanpa harus memakai istilah-istilah Arab. Bahasanya yang mengalir, karakterisasi tokoh-tokohnya yang begitu kuat, dan gambaran latarnya yang begitu hidup, membuat kisah dalam novel ini terasa benar-benar terjadi. Ini contoh novel karya penulis muda yang sangat bagus!"

AHMADUN YOSI HERFANDA
Sastrawan dan Redaktur Budaya Republika

"Jarang ada buku seperti ini. Saya tidak yakin akan ada novel serupa dari penulis muda Indonesia lainnya saat ini bahkan mungkin hingga beberapa puluh tahun ke depan. Begitu menyentuh. Begitu dalam. Dan begitu dewasa!"

MOHAMMAD FAUZIL ADHIM
Psikolog dan Penulis Buku-buku Best Seller

"Jika Naguib Mahfuz menulis Mesir dari pandangan orang Mesir, maka Mesir kali ini ditulis dalam pandangan orang Indonesia. Novel ini ditulis oleh orang Indonesia yang paham betul seluk-beluk negeri itu, hingga ke detail-detail yang paling kecil. Ia hidup, berbaur dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari lalu menyerap spirit dan pengetahuan darinya, dan dituangkan dengan sepenuh hati dalam bentuk novel kaya. Ditulis dengan bahasa yang lancar, dengan tokoh-tokoh yang 'hidup' dan berkelebatan dalam berbagai karakter. Membaca novel ini seperti membuka cermin cakrawala yang terbuka..."

JONI ARIADINATA
Cerpenis, Redaktur Jurnal Cerpen Indonesia

"Novel yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya. Habiburrahman El Shirazy dengan sangat meyakinkan mengajak kita menyelusuri lekuk Mesir yang eksotis itu, tanpa lelah. Tak sampai di situ, Ayat Ayat Cinta mengajak kita untuk lebih jernih, lebih cerdas dalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan juga cinta."

HELVY TIANA ROSA
Ketua Umum Forum Lingkar Pena

"Membaca Ayat Ayat Cinta ini membuat angan kita melayang-layang ke negeri seribu menara dan merasakan 'pelangi' akhlak yang menghiasi pesona-pesonanya. Sungguh sebuah cerita yang layak dibaca dan disosialisasikan pada para pemburu bacaan popular yang sudah tidak mengindahkan akhlak sebagai menu utamanya, agar dunia bacaan kita terhiasi karya-karya yang 'membangun'."

RATIH SANGARWATI
Artis dan Peragawati

"Membaca novel ini, nutrisi cinta seakan mengalir memenuhi jiwa. Dan pikiran kiat terpenuhi oleh berbagai pengetahuan dan wawasan. Inilah karya fiksi yang tidak 'mengelabui'. Bagus sekali."

ANNA R. NAWANING
Cerpenis dan Penulis Sastra Islami

"Sangat romantis dan humanis! Novel ini saya rasakan begitu kuat dalam ajaran, perasaan, dan penokohannya. Luar biasa, hati saya gerimis selesai membacanya!"

HAMIZAR "BAZARVIO" RIDWAN
Sastrawan dan Wartawan Pontianak Post


Mengenai tanggapan atas pro kontra ada baiknya kita baca kutipan dari salah satu jawaban dari


Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc, tentang pertanyaan yang diajukan oleh Sdr. Asep Buqhari Al-fahrizy dalam rubrik Fiqh Kontemporer di eramuslim.com tanggal 3 Maret 2008 atas pertanyaan "Film Ayat-Ayat Cinta Lebih Berbahaya dari Film Maksiat?

Assalamualaikum wr.wb

Yang saya hormati bpk ust. H. ahmad sarwat, Lc yang semoga dimulyakan allah...

Menyikapi masalh film ayat-ayat cinta yang sekarang sedang booming yang diangkat dari novel ayat-ayat cinta pada awalnya saya tidak punya penilaian apa-apa tentang film tersebut tapi setelah saya buka wordpess

Http://tanfidz.wordpress.com/2008/02/23/film-ayat-ayat-cinta-lebih-berbahaya-dari film-maksiat-sebuah-analisa-dari-ustad-lukaman

Sungguh membuat saya heran dengan kapasitas pengetahuan saya yang kurang tentang film tersebut

Tolong kepada bapak ustad memberikan saran atau pendapat tentang masalah ini karena kalu memang benar saya berencana menjadikan topik tersebut dibahas dalam forum pemuda-pemudi Islam...diwilayah saya...sebelumnya terimaksih saya mohon jawaban secepatnya dari bapak ustad agar masalah ini dapat diselesaikan dengan cepat pula...

Wassalamualaikum wr. wb

Asep Buqhari Al-fahrizy

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Setiap kali ada film yang mengangkat tema Islam atau dakwah, biasanya memang selalu diiringi dengan kontroversi di kalangan umat Islam sendiri.

Kontroversi itu bisa dilatar-belakangi karena cara pandang umat Islam memang berbeda-beda tentang hukum dan manfaat film untuk dakwah, namun terkadang 'kesalahan' memang terletak dari si pembuat film.

Untuk kasus kontroversi hukum film dalam pandangan agama ISlam, contoh kasusnya adalah film The Message karya Mustafa Aqqad. Perdebatan terjadi antara kalangan sufi dan bukan sufi. Kalangan 'sufi' (suka film) dari umat Islam memandang film ini bagus dan fenomenal dan layak dijadikan film dakwah yang ideal.

Sebaliknya, kalangan bukan 'sufi' yaitu kalangan 'tifi' alias anti film, karena sejak awal memang tidak suka film, tetap saja mereka tidak suka. Meski sudah sangat menggambarkan bagaimana hebatnya perjuangan umat Islam. Dan mereka tidak pernah kehabisan akal untuk mencacat sebuah film yang digelari film dakwah.

Dan itulah yang menyebabkan film The Message gagal shuting di Maroko lalu pindah ke Libya. Konon para ulama di negeri Maroko berdemo dan berfatwa bahwa haram hukumnya memfilmkan nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya. Fatwa itu konon menyebar di dunia Islam, sehingga menurut cerita dari para pengamat film, penjualan film itu di Timur Tengah malah anjlok alias rugi.

Sebaliknya, di Barat tempat film itu diproduksi, konon cukup fenomenal baik dari segi penjualan dan juga penyebaran dakwah. Sosok Muhammad SAW yang selama ini dilecehkan, perlahan-lahan dapat dikembalikan dan ditempatkan sesuai posisinya.

Kesimpulan sederhananya, orang Arab (Timur Tengah) adalah anti film, jadi percuma berdakwah kepada mereka dengan menggunakan film. Belum apa-apa mereka sudah bikin fatwa sesat dan haram, tanpa pernah melihat filmnya. Pokoknya masuk bioskop saja sudah haram, biarpun filmnya dari awal hingga akhir isinya hanya kumpulan rekaman ceramah.

Mulai dari antri tiket, sampai urusan campur baur laki-laki dan perempuan di dalam ruang theater, sampai pemain filmnya ada yang perempuan dan seterusnya, semua akan dijadikan dasar keharaman sebuah film dan bioskop. Dan itu buat mereka adalah harga mati.

Kalangan Suka Film

Sebaliknya, buat umat Islam yang pada dasarnya sudah suka film, kecenderungan mereka selalu memandang positif bila ada film yang sedikit saja agak tidak terlalu hedonis. Bahkan meski sama sekali bukan film dakwah atau agama.

Film-film yang bersifat humanis, penegakan keadilan, atau yang berlatar belakang sejarah, cinta yang murni dan sejenisnya, mereka masukkan ke dalam daftar film layak tonton. Apalagi bila film itusudah bicara tentang agama Islam, atau pelajar Indonesia yang kuliah di Cairo, tentu buat mereka sudah lebih dari cukup layak untuk ditonton.

Dan hujjah mereka pun sudah sering kita dengar. Misalnya, mereka mengatakan bahwa yang perlu mendapat siraman dakwah itu bukan hanya jamaah masjid saja, tapi mereka yang tiap hari kerjanya nonton film, kalau dibuatkan film yang lain dari biasanya, akan tetap bermanfaat bagi mereka.

Setidaknya film yang agak kental mengangkat masalah agama seperti itu, untuk kapasitas dunia film yang selama ini melulu hedonis dan materialis, bahkan cenderung pornografis, makaharus ditanggapi positif, bukan malah dicela atau dimaki. Juga jangan dibilang lebih berbahaya dari film porno.

Buat mereka, cara pandang seperti ini adalah cara pandang pesimistis, bahkan cenderung nihilis. Tidak berpihak kepada realita bahwa sebagian besar masyarakat itu sufi, alias suka (nonton) film.

Mengharamkan film sama saja mengharamkan televisi. Tapi mereka yang mengharamkan televisi tetap saja tidak mendirikan sendiri sebuah stasiun televisi tandingan yang ideal sesuai dengan selera mereka. Jadi masih terbatas baru bisa mengharamkan, tanpa bisa memberikan solusi.

Kekurangan Pembuat Film

Pembuatan film bertema dakwah memang agak unik dan bikin pusing, apalagi kalau film itu dikerjakan oleh mereka yang kurang banyak berkecimpung di dunia dakwah.

Boleh jadi dakwahnya malah menjadi sekedar pemanis, atau orang bilang 'manis-manis jambu'. Atau yang paling apes, dakwahnya malah kalah dengan masalah lainnya, seperti masalah cinta dan seterusnya. Film-film Rhoma Irama misalnya, seringkali terkotori dengan tema cinta agak vulgar, meski kemudian agak lebih dikoreksi.

Tapi di awal-awal produksinya, film-film itu malah menggambarkan pacaran, berduaan, berpelukan lain jenis yang bukan mahram, walau pun bintangnya fasih mengutip ayat-ayat Quran. Ini kan malah jadi kontradiksi dan sangat mengganggu, setidaknya buat mereka yang sudah punya wawasan agama lebih dalam.

Mungkin akan lain ceritanya kalau film itu digarap oleh tokoh sekelas Deddy Mizwar yang memang konsern terhadap dunia dakwah. Meski tidak sepi dari kritik, namun beberapa film besutan pak haji ini banyak yang memujinya.

Ayat ayat Cinta Tidak Islami?

Orang yang pernah baca novel karya Habiburrahman ini, lalu nonton filmnya, akan berkomentar bahwa film itu tidak Islami. Lho kok tidak Islami?

Wah, jangan tanya saya, tapi tanya saja kepada yang bilang ungkapan itu. Dan yang bilang begitu bukan siapa-siapa, tapi sutradaranya sendiri, si Hanung. Jadi sejak awal si sutradara sudah mengaku bahwa filmnya ini tidak Islami.

Jadi itu saja sudah cukup untuk dijadikan sebuah penilaian, tanpa harus diskusi panjang-panjang. Lha wong yang bikin film itu saja sudah bilang bahwa filmnya tidak Islami. Masak kita mau paksa bilang bahwa itu adalah film Islami?

Begitu banyak memang reduksi dari novel yang sarat isitlah syariah, ketika jadi film malah hilang begitu saja, dibuang oleh pembuat film. Sehingga begitu banyak pesan agama malah raib, berganti dengan adegan konyol, aneh dan memang tidak Islami. Dan itu sejak awal sudah diakui oleh si pembuat film.

Kami tidak tahu apa reaksi akhinal fadhil Habiburrahman tentang film ini. Silahkan tanya beliau.Tapi memang sangat beda antara apa yang ditulis oleh seorang lulusan Al-Azhar dalam novelnya dengan hasil besutan orang film yang bukan lulusan fakultas syariah. Nuansa dan touch-nya beda banget.

Terlambat Tayang Karena Dianggap Mempengaruhi Keimanan Agama Lain

Yang menarik dari berita tentang kenapa film ini terlambat ditayangkan, konon ada ganjalan di LSF. Lembaga ini mengatakan bahwa film ini dikhawatirkan akan mempengaruhi keyakinan agama lain, karena ada tokohnya yang beragama kristen tapi suka dengan Al-Quran. Malahan masuk Islam karena terpesona dengan sosok seorang laki-laki muslim.

Dan rasanya titik ini menarik untuk dikaji, penulis novel memang ingin menggambarkan hubungan yang harmonis antara muslim dan kristen, di mana pada hakikatnya keduanya memang sangat dekat. Bahkan wanita kristen memang halal dinikahi oleh laki-laki muslim. Demikian juga dengan sembelihannya.

Dan memang berbeda antara kristen di negeri kita dengan kristen di Mesir. Kristen di Mesir mewakili gereja timur yang berbeda dengan kristen Eropa yang lebih sesat serta bercampur dengan berbagai sinkritisme Eropa yang teramat paganis.

Aneh juga memang, biasanya LFS meloloskan semua materi film yang melecehkan agama, seperti pornografi, pelecehan seksual, kekerasan sampai lesibianisme dan homoseksual. Tapi giliran ada film yang mengangkat masalah agama Islam, tiba-tiba bisa gagah untuk menghalangi.

Kira-kira ada apa ya dengan lembaga yang satu ini, sehingga bisa kayak Amerika yang punya standar ganda?

Lokasi Mesir

Lepas dari kontroversi apakah film ini Islami atau tidak Islami, tapi sebagai orang yang pernah ke Mesir dan bahkan lahir di Mesir, film ini menurut hemat kami kurang bisa menampilkan setting kejadian yang sebagian besar di Mesir.

Ketika baca novelnya, suasana Mesir, orang-orang, kebudayaan dan kebiasaan mereka sangat kental. Wajar, karena Habiburrahman kuliah di sana beberapa tahun.

Tapi ketika divisualisasikan, mulai dari yang bikin film, yang main, bahkan para team kreatifnya, mungkin malah belum pernah tinggal di Mesir. Jadi kalau kesan 'bukan Mesir' nya terlalu menonjol, sejak awal memang sudah bisa ditebak. India dan Mesir kan tetap berbeda, biar bagaimana pun juga.

Ketika dahulu produksi film itu belum memutuskan siapa yang jadi sutradara, mas Chaerul Umam pernah bilang bahwa beliau sempat ditawarkan untuk menggarapnya. Kami katakan kepada beliau, "Mas, kalau memang jadi membuat film itu, mbok sampeyan 'nyantri' dulu di Mesir barang tiga bulan, biar bisa tahu persis bagaimana khas kehidupan di sana."

Dan permintaan itu sudah dijadikan syarat oleh penulis novelnya, agar lokasi syuting harus di Mesir betulan. Namun sayangnya, sutradara film itu, Hanung, katanya'diperas' oleh PH di Mesir, sehingga cita-cita mengangkat suasana kota Cairo dalam film ini jadi gatot alias gagal total.

Walhasil, dari sudut pandang ini, film itu kurang mengangkat ke-Mesiran-nya, Tapi apa itu penting buat penonton di negeri ini?

Wallahu a'lam bishsawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc








0 komentar

Post a Comment